Header Ads

ad

Tawa Mereka Usai Blokir Media Islami

AJATAPPARENG.COM - PADA saat ribuan Muslim pengguna Twitter meramaikan tagar “KembalikanMediaIslam”, saya membayangkan sebagian orang yang mengaku intelektual Islam tengah terbahak-bahak ria. Mereka yang bangga menyebut diri antisyariat dan pembenci para islamis, pastilah bertepuk tangan atau bahkan menggelar pesta perayaan. Tuntutan kalangan sekularis ini sudah lama digaungkan: tutup situs berita radikal pengancam NKRI.

Soal radikal yang seperti apa yang mereka kehendaki, sudah mafhumlah semua: situs penentang ide dan kiprah sekularis. Sementara situs radikal yang bukan Islam, seperti penebar komunis dan seks bebas, tidak senapas pun mereka berniat menolaknya. Radikal, bagi mereka, hanya dan harus kalangan yang ingin menjadikan Islam sebagai jalan hidup dan pola pikir hidup rakyat Indonesia.

Benar saja, seorang di antara sekularis itu langsung memprediksi kalangan yang siap protes begitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menuruti surat BNPT. Bagi kalangan sekularis, media-media dakwah yang getol memperjuangkan Islam, dianggap lawan makar mereka. Saat yang sama, jajaran di BNPT terdiri dari para pembenci dan pencuriga gerakan Islam. Jadilan pasangan pihak berwenang dan pendukung penutupan kawanan serasi sepadan.

Pemblokiran media-media daring islamis yang dilakukan Kominfo era pemerintah sekarang merupakan “kemajuan”. Saat posisi serupa di pemerintahan sebelumnya, permintaan BNPT yang menjurus pemaksaan keras masih bisa diladeni. Hanya beberapa laman yang dicekal. Kali ini, laman-laman berita dan/atau kegiatan dakwah yang jauh dari sangkaan penebar ideologi ISIS pun kena blokir. Ada apa?

Kominfo era sekarang jelas hanya memainkan peran sebagai kacung saja dari penguasa. Penguasa di sini tidak merujuk pada presiden, yang memang tidak begitu berminat dengan soal semacam ini. Para penguasa sesungguhnya di lingkaran Presiden inilah yang saat ini begitu leluasa memainkan politik untuk menggaet banyak proyek asing sekaligus taktik mengalihkan dari lemahnya kinerja pemerintahan. Sudahlah dikendalikan para baron yang memusuhi kekuatan Islam, Presiden tampak menerima putusan final saja dari kebijakan orang-orang dekatnya yang antiIslam.

Lihat saja bagaimana leluasanya elit BNPT dan Densus 88 yang lama dikenal fobia Islam mengerjai penguasa. ISIS dijadikan isu memukul lawan politik sekaligus melanggengkan kuasa. Dari luar negeri, kucuran proyek antiterorisme terus berjalan. Saat era penguasa sebelumnya yang dikenal punya cukup power saja, orang-orang yang sengit pada Islam rajin bergerilya untuk menyikat kalangan yang disebut radikal, apatah lagi sekarang.

Pemblokiran, atau semacam setengah breidel dalam konteks cetak, bukanlah yang ditakuti. Mengapa? Karena blokir ini baru permukaan yang tampak dari proyeksi ke depan untuk memarjinalkan kekuatan Islam. ISIS kini jadi pemukul ampuh untuk deislamisme seiring kian parahnya praktik busuk penguasa dalam menjalankan amahan rakyat.

Sudahlah kebijakan penguasa hanya demi asing dan kelompok tertentu di pembisiknya, dari luar ada tawaran untuk menutupi semua kekurangan kasad mata ini. BNPT bersama Densus 88, sekali lagi, jadi agensi serupa Orde Baru yang gemar menciptakan stigma pada umat Islam. Dulu ‘Ekstrem Kanan’, kini JI, Al-Qaedah, lalu terakhir ISIS. Dulu ‘penentang Pancasila’, kini ‘wahabi radikal’. Dulu ‘subversi anti UUD 1945’, kini ‘merongrong dengan ideologi transnasional Timur Tengah’.
Blokir laman daring islamis yang semena-mena dan main pukul, pastilah akan diikuti dengan teror mental rakyat awam. Kata-kata radikal dan ISIS dilekatkan cepat pada setiap Muslim yang hanif dan mengamalkan keislamannya secara tulus. Orang-orang yang tidak tahu-menahu ISIS pun gampang dibuikan semata proyek deislamisme ini berjalan. Menyedihkannya, jangan mengira, ada kalangan umat Islam pula yang diam saja pada saat saudaranya dipinggirkan-dianiaya. Bukan mereka tidak punya hati, melainkan karena mereka tahu bahwa selama ini para ‘garis keras’ itu kompetitor dakwahnya.

Klaim Ahlus Sunnah wal-Jamaah atau apa pun menjadi tidak menjanakan keberkahan. Persis kejadian pada 1984, ada kalangan umat yang dengan terbuka menerima anjangsana politik jenderal anti-Islam yang dikenal berdarah dingin dalam tragedi pembantaian umat Islam di Tanjung Priok. Pesantren jadi ajang menerima sosok yang oleh kalangan seiman mereka justru dicerca sebagai penjahat HAM.


Hari ini, persaksikanlah tingkah serupa pun ada. Tertawa menyoraki blokir atau kelak matinya media-media islamisme dengan sukacita meski mereka sesama Islam. [islampos.com/yusufmaulana]