Rapor Merah Membaca Ummat Iqra’
AJATAPPARENG.COM -- Franz Rosenthal, orientalis kelahiran Jerman, bukanlah nama yang harum dalam
diskursus kajian Islam. Namun, dia pernah punya pernyataan yang simpatik
terhadap Islam. Dalam karyanya yang dianggap merepresentasikan orisinalitas
visi intelektualnya terhadap Islam, Knowledge Triumphant, dia menulis
berikut:
“Peradaban-peradaban cenderung untuk bergerak mengikuti konsep-konsep abstrak tertentu yang secara dominan memberikannya karakter yang unik. Konsep-konsep tersebut dapat ditelusuri pada masa awal bangkitnya sebuah peradaban.” Bagi Rosenthal dalam paparan selanjutnya, konsep abstrak yang mewarnai karakter dasar peradaban Islam itu adalah ilmu.
Bila peradaban Islam dengan konsep dasarnya itu kita telusuri ke akarnya yang terdalam, salah satu inti yang pasti akan kita temukan adalah iqra’ (Bacalah!). Inilah perintah langit pertama yang turun kepada Nabi rahmat yang justru lahir di tengah masyarakat yang tidak punya tradisi aksara. Berbeda dengan peradaban bangsa lainnya, orang Arab Jahiliyah bahkan tidak punya hitungan sebagai penanda terhadap kronologis tahun. Mereka mengenali tahun hanya dengan menanda peristiwa besar yang terjadi di dalamnya. Kapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lahir? Jawabnya, di tahun Gajah!
Uniknya, perintah langit ini tertuju kepada individu (mufrad), bukan jamak sebagaimana lazimnya perintah-perintah dalam Al-Qur’an. Selanjutnya, perintah tersebut juga tidak menunjuk objek tertentu: apa yang harus dibaca. Mungkin perintah itu memang untuk mengisyaratkan betapa tradisi peradaban tersebut merupakan tanggung jawab setiap individu dan bahwa objeknya sejatinya tak terbatas.
Iqra’ sendiri tidak sesederhana yang dibayangkan sebagian orang. Iqra’ dalam tradisi keilmuan Islam bersifat unik, terlebih ketika dia dibandingkan dengan tradisi keilmuan lainnya. Tradisi keilmuan iqra’ tidak lepas dari iman, ta’aqqul (berpikir), tadabbur (kontemplasi), nazhar (melihat dan membandingkan), tafkir (menganalisis), dll.
Sejarah kemudian menjadi saksi kesuksesan tradisi iqra’. Tidak sampai satu abad setelah perintah pertama ini turun, Islam tampil menjadi alternatif dunia. Berawal dari kota Mekah kemudian Madinah, cahaya Islam melahirkan pusat-pusat keilmuan dan peradaban dunia. Di saat Eropa hanya bisa membanggakan kota Bizantium dan Roma, ummat Muslim di era yang sama memiliki segudang kota ilmu: Baghdad, Qahirah, Dimasyq, Qurthubah, Samarqand, Bukhara, Aceh, dll.
Tidak heran bila kelak sebagian besar kitab sejarah dan biografi yang diwariskan sejarah Muslim adalah biografi para ulama dan sarjana. Kitab thabaqat dan tarikh yang kira-kira bermakna ‘kronologi/generasi’ dan ‘sejarah’ bisa ditemukan pada masing-masing disiplin ilmu yang masih lestari hingga saat ini. Kitab-kitab tersebut menyusun biografi ulama dan sarjana berdasarkan disiplin ilmu tertentu dari berbagai generasi. Seakan-akan sejarah kaum Muslim adalah sejarah ulama dan sarjananya, bukan kelompok elit masyarakat yang lain. Bukankah sejarah itu sendiri adalah sejarah tokoh-tokoh utama di dalamnya?
Tapi, mari sejenak kita keluar dari sejarah dan melihat langsung tantangan yang ada di depan mata. Rasa-rasanya belum pernah kita, sebagai bangsa pemeluk Islam terbesar di dunia, punya prestasi besar dalam hal iqra’, hatta dalam bentuknya yang paling sederhana. Tahun 2011, survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mencatat indeks membaca masyarakat Indonesia 0,001. Dengan kata lain, dari setiap seribu penduduk hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi.
Setahun setelahnya, 2012, dari 187 negara di dunia Indonesia hanya mampu menduduki posisi 124 dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini mengukur terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk pendidikan, kesehatan dan ‘melek huruf’.
Laporan dalam skala yang lebih luas menyebut perbandingan yang tidak kalah miris. Sebuah negara di Eropa yang tentunya berpenduduk mayoritas non-Muslim rata-rata bisa menelorkan 3000 sarjana S3 per tahun. Sedangkan seluruh dunia Muslim, yang jumlahnya mencakup 52 negara, hanya mampu mencetak 500 doktor setiap tahunnya.
Penjelasan normatif dan fakta sejarah sebelumnya berjarak terlalu jauh dengan realitas kekinian kita ummat iqra’. Apa yang salah? Ternyata buku di atas memang tidak berbicara tentang dunia Muslim era modern. Sebab judul lengkap buku tersebut adalah Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Ya, periode pertengahan dalam sejarah ummat Muslim. Bukan kita. Aduh!
alBalaghMedia.com
Ilham Jaya Abdul Rauf
“Peradaban-peradaban cenderung untuk bergerak mengikuti konsep-konsep abstrak tertentu yang secara dominan memberikannya karakter yang unik. Konsep-konsep tersebut dapat ditelusuri pada masa awal bangkitnya sebuah peradaban.” Bagi Rosenthal dalam paparan selanjutnya, konsep abstrak yang mewarnai karakter dasar peradaban Islam itu adalah ilmu.
Bila peradaban Islam dengan konsep dasarnya itu kita telusuri ke akarnya yang terdalam, salah satu inti yang pasti akan kita temukan adalah iqra’ (Bacalah!). Inilah perintah langit pertama yang turun kepada Nabi rahmat yang justru lahir di tengah masyarakat yang tidak punya tradisi aksara. Berbeda dengan peradaban bangsa lainnya, orang Arab Jahiliyah bahkan tidak punya hitungan sebagai penanda terhadap kronologis tahun. Mereka mengenali tahun hanya dengan menanda peristiwa besar yang terjadi di dalamnya. Kapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lahir? Jawabnya, di tahun Gajah!
Uniknya, perintah langit ini tertuju kepada individu (mufrad), bukan jamak sebagaimana lazimnya perintah-perintah dalam Al-Qur’an. Selanjutnya, perintah tersebut juga tidak menunjuk objek tertentu: apa yang harus dibaca. Mungkin perintah itu memang untuk mengisyaratkan betapa tradisi peradaban tersebut merupakan tanggung jawab setiap individu dan bahwa objeknya sejatinya tak terbatas.
Iqra’ sendiri tidak sesederhana yang dibayangkan sebagian orang. Iqra’ dalam tradisi keilmuan Islam bersifat unik, terlebih ketika dia dibandingkan dengan tradisi keilmuan lainnya. Tradisi keilmuan iqra’ tidak lepas dari iman, ta’aqqul (berpikir), tadabbur (kontemplasi), nazhar (melihat dan membandingkan), tafkir (menganalisis), dll.
Sejarah kemudian menjadi saksi kesuksesan tradisi iqra’. Tidak sampai satu abad setelah perintah pertama ini turun, Islam tampil menjadi alternatif dunia. Berawal dari kota Mekah kemudian Madinah, cahaya Islam melahirkan pusat-pusat keilmuan dan peradaban dunia. Di saat Eropa hanya bisa membanggakan kota Bizantium dan Roma, ummat Muslim di era yang sama memiliki segudang kota ilmu: Baghdad, Qahirah, Dimasyq, Qurthubah, Samarqand, Bukhara, Aceh, dll.
Tidak heran bila kelak sebagian besar kitab sejarah dan biografi yang diwariskan sejarah Muslim adalah biografi para ulama dan sarjana. Kitab thabaqat dan tarikh yang kira-kira bermakna ‘kronologi/generasi’ dan ‘sejarah’ bisa ditemukan pada masing-masing disiplin ilmu yang masih lestari hingga saat ini. Kitab-kitab tersebut menyusun biografi ulama dan sarjana berdasarkan disiplin ilmu tertentu dari berbagai generasi. Seakan-akan sejarah kaum Muslim adalah sejarah ulama dan sarjananya, bukan kelompok elit masyarakat yang lain. Bukankah sejarah itu sendiri adalah sejarah tokoh-tokoh utama di dalamnya?
Tapi, mari sejenak kita keluar dari sejarah dan melihat langsung tantangan yang ada di depan mata. Rasa-rasanya belum pernah kita, sebagai bangsa pemeluk Islam terbesar di dunia, punya prestasi besar dalam hal iqra’, hatta dalam bentuknya yang paling sederhana. Tahun 2011, survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mencatat indeks membaca masyarakat Indonesia 0,001. Dengan kata lain, dari setiap seribu penduduk hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi.
Setahun setelahnya, 2012, dari 187 negara di dunia Indonesia hanya mampu menduduki posisi 124 dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini mengukur terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk pendidikan, kesehatan dan ‘melek huruf’.
Laporan dalam skala yang lebih luas menyebut perbandingan yang tidak kalah miris. Sebuah negara di Eropa yang tentunya berpenduduk mayoritas non-Muslim rata-rata bisa menelorkan 3000 sarjana S3 per tahun. Sedangkan seluruh dunia Muslim, yang jumlahnya mencakup 52 negara, hanya mampu mencetak 500 doktor setiap tahunnya.
Penjelasan normatif dan fakta sejarah sebelumnya berjarak terlalu jauh dengan realitas kekinian kita ummat iqra’. Apa yang salah? Ternyata buku di atas memang tidak berbicara tentang dunia Muslim era modern. Sebab judul lengkap buku tersebut adalah Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Ya, periode pertengahan dalam sejarah ummat Muslim. Bukan kita. Aduh!
alBalaghMedia.com
Ilham Jaya Abdul Rauf
Post a Comment