La Ma’daremmeng, Karaeng Pattingalloang, dan Tuanta Salamaka
Pak JK yang kami hormati, mengenang perang itu barangkali pahit..
Tetapi rasa ta’zhim pada nilai-nilai
yang diperjuangkan Raja Bone XIII La Ma’daremmeng Sultan Muhammad Saleh,
sebagaimana hormat kami kepada tokoh dari jazirah Sulawesi sebesar
Bapak, tak pernah pudar. La Ma’daremmeng, semoga Allah menyayanginya,
kala itu rela harus berhadapan dengan kekuatan sebesar Gowa-Tallo demi
keyakinannya untuk menegakkan kalimat Allah dan sunnah RasulNya.
Sejak Islam datang ke Bone di masa
ayahandanya, betapa bersemangat orang besar Bugis ini agar agama yang
penuh rahmat menjadi nafas dan aliran darah seluruh kerajaannya.
Perbudakan, satu di antara hal yang sangat lazim di zaman itu dan turut
menjadi penopang kelangsungan kuasa para raja, telah mengusik nurani La
Ma’daremmeng. Kesetaraan seluruh insan dalam naungan Islam adalah impian
yang harus dia bayar amat mahal.
Orang yang harus memimpin 40.000 prajurit gabungan Gowa-Tallo, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng untuk mengalahkan La Ma’daremmeng, sang perdana menteri Gowa sekaligus Raja Tallo, I Mangngadaccinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud Tuminanga Ri Bontobiraeng, bukannya tak setuju sepenuhnya pada perubahan yang dihela La Ma’daremmeng. Karaeng Pattingalloang hanya merasa hal ini belum waktunya. Ada tahapan yang harus ditapaki sebelumnya agar harmoni masyarakat tak terganggu. Dia mempertanyakan, “Bukankah Sang Nabi juga tak serta-merta menghapus perbudakan? Melainkan selangkah demi selangkah, dengan amat manusiawi?”
Pak JK yang terhormat..
Diilhami oleh imannya, betapa maju
pemikiran La Ma’daremmeng. Perjuangannya 220 tahun mendahului abolisi
perbudakan yang diproklamasikan Abraham Lincoln hingga memicu perang
saudara Amerika. Demikian pula kami pernah melihat Bapak, ketika
mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membawa cara-cara kerja
progresif lagi segar mengelola negeri ini, sesuatu yang senantiasa jadi
kenangan manis bagi kami. Sebagaimana La Ma’daremmeng digerakkan oleh
imannya, demikianlah kami selalu mendoakan Bapak agar istiqamah menjadi
pemimpin yang selalu dijiwai oleh Islam di tiap langkahnya.
Dan Karaeng Pattingalloang sendiri,
betapa amat tergerak oleh sebuah kalimat bijak, “Hikmah adalah milik
mukmin yang hilang. Maka di manapun dia menemukannya, dialah yang paling
berhak mengambilnya.” Karaeng Pattingalloang tahu, gemerlap peradaban
Islam di Baghdad telah terbenam 400 tahun sebelum dia bertakhta, dan
kilau Cordoba telah padam 2 abad sebelum kelahirannya. Maka dari
bangsa-bangsa yang telah menyabet kerlip peradaban Islam untuk
pencerahan mereka, bangsa Eropa, amat bersemangat dia belajar.
Menguasai bahasa Arab, Inggris, Perancis, Spanyol, Portugal, Belanda, Jawa, dan Melayu selain bahasa Bugis dan Makassar; khazanah ilmu dunia terbuka bagi Karaeng Pattingalloang. Demi mengenal dunia, dengan penuh minat didatangkannya bola dunia terbesar di zamannya, bergaris-tengah 1,3 meter, buatan kartografer termasyhur, Joan Blaeu; tiba 7 tahun kemudian di Sombaopu setelah dipesan. Semangat Karaeng Pattingalloang akan ilmu menggemparkan para cendikia Eropa, hingga sastrawan besar Joost van den Vondel menghadiahkan puisi pujian untuknya. Kelak ketika Joan Blaeu merampungkan Atlas Novus, peta dunia terbesar yang dikodifikasinya dari peta-peta susunan sang legendaris Gerrard Mercator, digambarnya Karaeng Pattingalloang beristiwa di ufuk langit timur, menjangka dunia dengan busur kartografinya.
Setahun kemudian, tiba pula teleskop rancangan Galileo yang kelak menemani malam-malam Karaeng Pattingalloang untuk mencermati langit, mempresisikan perhitungan kalender hijriah, memetakan bintang-bintang, dan membantunya merumuskan kebijakan terkait musim bagi pertanian dan pelayaran. Perpustakaannya dipenuhi buku berbagai bahasa, yang dengan penuh semangat dia minta untuk diterjemahkan, termasuk risalah Turki ‘Utsmani tentang pembuatan meriam, naskah dari Belanda tentang bendungan, serta buku dari Inggris tentang pertahanan kota dan perbentengan. Demi memuaskan dahaga ilmiahnya pula, dia minta didatangkan ke Makassar unta Arabia yang tersebut dalam Al Quran, juga gajah seperti yang dipakai Abrahah menyerang Ka’bah.
Ilmu pengetahuan dan wawasan antar-bangsanya yang demikian luas telah membuat Karaeng Pattingalloang memerintah dengan bijaksana, mendampingi Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tuminanga Ri Papambatunna. Maka demikian pula kami harapkan dari putra Nusantara pewarisnya seperti Anda, Pak JK kala mendampingi Presiden Jokowi dan selanjutnya, seperti pula telah kami saksikan dulu.
Pak JK yang terhormat..
Salah satu warisan kebijaksanaan dari Karaeng Pattingalloang, yang hari-hari ini amat merisaukan kami adalah “Lima pammajenganna matena butta lompoa”. Ya, menurutnya ada lima penyebab keruntuhan sebuah negara. Pertama, “Punna tenamo naero nipakainga Karaeng Manggauka”, apabila kepala negara yang memerintah tak lagi mau dinasehati. Kedua, “Punna tenamo tumangngaseng ri lalang pa’ rasangnga”, apabila tak ada lagi cendikiawan yang tulus mengabdi di dalam negeri. Ketiga, “Punna tenamo gau lampo ri lalang pa’ rasangnga”, jika terlalu banyak kasus hukum di dalam negeri, hingga menyusupkan muak di hati. Keempat, “Punna angngallengasemmi’ soso’ pabbicaraya”, jika banyak hakim dan pejabat suka makan suap. Dan kelima, “Punna tenamo nakamaseyangi atanna Manggauka”, jika penguasa yang memerintah tak lagi menyayangi rakyatnya.
Pak JK, Bapak lebih dapat melihat
dibanding kami seberapa dari tanda-tanda yang dikemukakan Karaeng
Pattingalloang ini mencekam negara kita. Maka betapa kami, kaum muslimin
negeri ini, amat berharap Pak JK punya peran yang lebih besar, punya
sikap yang lebih jelas, punya tindakan yang lebih gesit. Latar belakang
Pak JK yang dari HMI, dari NU, dan dari Dewan Masjid; amat menentramkan
kami ketika Bapak mendampingi Presiden Jokowi, meski memang Anda berdua
sejujurnya bukan pilihan utama kami. Harapan bahwa kaum muslimin
Indonesia akan tetap memiliki seorang “Bapak” dalam segala makna yang
dikandung oleh kata itu bersiponggang dalam hati.
Terlebih hari-hari ini Pak, ketika
secara ekonomi rupiah kita melemah, BBM kita naik turun, dan rakyat
menatap masa depan dengan berkabut; ketika secara politik kisruh antar
pemimpin partai, pejabat dan lembaga negara bekerja tebak-tebak arah,
dan masyarakat sukar menemukan keteladanan pemimpin; ketika dalam hukum
dan hak asasi para koruptor besar kian melenggang, para pembawa ideologi
menyimpang kanan maupun kiri kian berdendang, tapi kebebasan berwawasan
ummat ditebas atas nama radikalisme dengan definisi yang tak sahih;
serta setumpuk rasa gelisah di hati kami. Kami merindukan pengayoman
dari pemimpin yang seyakin La Ma’daremmeng dan sebijak Karaeng
Pattingalloang.
Pak JK, betapapun bijaknya, Karaeng
Pattingalloang pernah mengabaikan 1 hal yang berujung berakhirnya
kejayaan Gowa-Tallo di masa menantunya, Sultan Hassanuddin, hanya
berselang beberapa tahun setelah wafatnya. Satu hal penting itu adalah
nasehat ‘ulama.
Adalah Tuanta Salamaka Syaikh Yusuf Al Makassari, ‘alim mulia yang kepahlawanannya membentang dari Makassar, Banten, Srilanka, hingga Afrika Selatan yang satu hari menemuinya dan berkata, “Telah kulihat alamat keruntuhan Butta Gowa. Oleh sebab itu, pertama, hentikan dan cegahlah rakyat menyembah berhala (anynyombaya saukang). Yang kedua, hentikan menghormati pusaka kerajaan secara berlebihan (appakala’biri’ sukkuka gaukang). Yang ketiga, hentikan para bangsawan dan rakyat paguyuban kerajaan bermadat (a’madaka ri bate salapanga). Yang keempat, hentikan pasukan kerajaan minum tuak (angnginunga ballo’ ri ta’bala’ tubarania). Yang kelima, hentikan perjudian di pasar-pasar (pa’botoranga ri pasap-pasaraka).
Penolakan Karaeng Pattingalloang atas
nasehat Tuanta Salamaka ini, dengan alasan demi tak mengusik harmoni dan
demi pendapatan negara, telah menjadi sebab melemahnya negara.
Sepeninggalnya, rakyat lemah ideologinya, lemah motivasinya; lemah oleh
madat, lemah oleh khamr, dan lemah oleh judi. Jadilah lemah iman, lemah
tata masyarakat, lemah tentara, lemah bangsawan, maka melemah pula
dukungan terhadap raja dan perjuangannya. Maka seperti diperkirakan oleh
Syaikh Yusuf, ketika Cornelis Speelman dan armadanya menyerang,
Gowa-Tallo harus takluk dengan Perjanjian Bongaya.
Pak JK, bertakhtalah Anda di dalam hati kaum muslimin Indonesia, sebagaimana Karaeng Pattingalloang beristiwa di ufuk tinggi Atlas Novus anggitan Joan Blaeu. Bahkan lebih dari itu. Sebab dalam doa kami, semoga engkau mewarisi iman kokoh La Ma’deremmeng, dan senantiasa mendengarkan bimbingan para ‘ulama yang tulus seperti Tuanta Salamaka, Syaikh Yusuf Al Makassari. Kami murid dari murid dari murid para ‘ulama, sangat rindu melihat pemimpin yang taqwa membuatnya menangis di hadapan Rabbnya, dan adil membuatnya dicintai seluruh rakyatnya. Pak JK, harapan itu kami hadiahkan kepada Anda.
Titip salam kami untuk Bapak Presiden
Jokowi yang amat sibuk dengan kerja, kerja, kerja, dan tanggungjawabnya.
Percayalah, doa-doa kami senantiasa mengiringi kerja keras Bapak
berdua. Bahwa surat ini saya tujukan kepada Anda, Pak JK, entah mengapa,
ini soal hati yang merasa lebih dekat. Dan barangkali di bawah sadar
kami tak hendak menambahi beban Presiden Jokowi, yang jauh lebih banyak
punya janji kepada rakyat negeri ini daripada Pak JK.
Akhirnya seperti dikatakan peribahasa Bugis, “Aju maluruemi riala parewa bola”,
hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah. Hanyalah pemimpin yang
jujur lagi penuh kasih, dapat menjadi pelindung dan penaung kami,
rakyat Indonesia, dari segala marabahaya.
Dari hamba Allah yang tertawan dosanya,
Salim a. fillah
pengasuh majelis jejak nabi & pesantren masyarakat merapi merbabu
Post a Comment