Header Ads

ad

Taat Pada Pemimpin, Karena Pemimpin Cermin Dari Rakyatnya

Dalil Wajib Menaati Pemimpin

1. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah" (HR. Al-Bukhaari no. 7056)

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

"Makna hadits ini adalah janganlah kalian menentang penguasa dalam kekuasaan mereka. Dan jangan pula melawan mereka, kecuali kalian melihat dari mereka kemungkaran yang nyata yang kalian ketahui dari kaedah-kaedah Islam. Jika kalian melihat hal itu, ingkarilah mereka (dengan cara menasihatinya), dan katakanlah kebenaran di manapun kalian berada. Adapun keluar ketaatan dan memerangi mereka, maka haram hukumnya berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin, meskipun mereka berbuat kefasiqan lagi dhalim" (Syarh Shahiih Muslim, 12/229)

2. Dari Ummu Salamah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu kalian mengenalinya dan kemudian kalian mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?". Beliau menjawab : "Tidak, selama mereka mengerjakan shalat, yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya" (HR. Muslim no. 1854)

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

"Dan hadits : ‘Tidakkah kami boleh memerangi mereka ?’. Beliau bersabda : ‘Tidak, selama mereka masih shalat’, maka di dalamnya terkandung makna yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu peniadaan kebolehan keluar ketaatan penguasa dengan sebab kedhaliman atau kefasiqan semata, selama mereka (penguasa) tidak mengubah sesuatupun dari kaedah-kaedah Islam" [Syarah Shahih Muslim, 12/244].

Kaedah-kaedah Islam yang dimaksudkan oleh An-Nawawi ini maksudnya adalah shalat, karena ia merupakan kewajiban amal lahiriyyah yang paling besar. Orang yang meninggalkannya adalah kafir (menurut ulama yang berpendapat kafir), atau mendekati ambang kekafiran (menurut ulama yang berpendapat tidak kafir selama masih meyakini kewajibannya

Sebagaimana hadits berikut: Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim no. 82)

3. Dari ‘Auf bin Maalik, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Sebaik-baik pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu cintai dan ia pun mencintaimu. Kamu mendoakannya, dan ia pun mendoakanmu. Adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu benci dan ia pun membencimu. Kamu melaknatnya dan ia pun melaknatmu". Kami (para shahabat) bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan pedang (memberontak) atas hal itu ?". Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam pun menjawab : "Jangan, selama ia masih menegakkan shalat bersamamu" (dua kali). Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian ia melihat pemimpin tersebut melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka bencilah kemaksiatan tersebut, dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan kepadanya" (HR.Muslim no. 1855)

Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :

"Sabda beliau : ‘Jangan, selama ia masih menegakkan shalat bersamamu; padanya terdapat dalil tidak diperbolehkannya memerangi para pemimpin dengan pedang bilamana mereka masih mendirikan shalat. Dan hadits itu sekaligus menunjukkan mafhum-nya bahwa diperbolehkan memerangi karena mereka meninggalkan shalat. Dan hadits ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit yang disebutkan sebelumnya terdapat dalil tidak diperbolehkannya memerangi (para pemimpin) kecuali jika nampak kekufuran yang nyata/jelas" (Nailul-Authaar, 7/197)

Yang jadi masalah,pemimpin kita masih shalat bersama kita, dan masih membiarkan kita shalat,dan mengumandangkan adzan,serta haji,dan umrah,,apa itu bisa di lakukan jika pemimpin kita kafir??

4. Dari Ibnu Mas’uud, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : "Akan ada sepeninggalku nanti ‘atsarah’ dan perkara-perkara yang kalian ingkari". Para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (jika kami yang menemuinya) ?". Beliau menjawab : "Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah" (HR. Al-Bukhaari no. 3603)

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

"Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)" (Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232)

Muhasabah Diri,Karena Pemimpin Adalah Cermin Rakyatnya

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن ظهر فيهم المكر والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت ملوكهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحق ونحلوا بها عليهم وإن اخذوا ممن يستضعفونه مالا يستحقونه في معاملتهم اخذت منهم الملوك مالا يستحقونه وضربت عليهم المكوس والوظائف وكلما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة فعمالهم ظهرت في صور اعمالهم وليس في الحكمة الالهية ان يولى على الاشرار الفجار الا من يكون من جنسهم

Ibnul Qayyim berkata, "Perhatikanlah hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh para rakyat di dalam negeri tersebut. Bahkan, amalan dari para rakyat akan tercermin dari tingkah laku para penguasanya.

1. Apabila rakyat di dalam negeri tersebut komitmen dalam menjalankan syari’at, maka tentu penguasanya pun demikian.
2. Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada mereka.
3. Apabila mereka suka berbuat kemaksiatan, maka para penguasa juga akan senantiasa berbuat maksiat.
4. Apabila rakyat senantiasa berbuat makar dan tipu daya, maka tentulah penguasa demikian pula keadaannya.
5. Apabila para rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah serta mengabaikannya, maka penguasa mereka pun juga akan berbuat hal yang sama, mereka akan melanggar dan tidak menunaikan hak-hak para rakyatnya.
6. Apabila rakyat sering melanggar hak kaum yang lemah dalam berbagai interaksi mereka, maka para penguasa akan melanggar hak para rakyatnya secara paksa, menetapkan berbagai pajak dan pungutan liar kepada mereka. Dan setiap mereka (yakni rakyat) mengambil hak kaum yang lemah, maka hak mereka pun akan diambil secara paksa oleh para penguasa. Sehingga para penguasa merupakan cerminan amal dari para rakyatnya."

Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.(Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah ditanya oleh seseorang: "Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau? Jawab Ali: "Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka didukung oleh orang-orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu"(Syadzaraat Adz Dzhahab 1/51.)

Para penguasa yang dzhalim merupakan hukuman yang ditimpakan Allah bagi kaum yang dzhalim pula, dikarenakan dosa-dosa yang mereka lakukan. Allah ta’ala berfirman,

وكذلك نولي بعض الظالمين بعضا بما كانوا يَكسبون


"Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan." (QS. Al An’aam: 129).


Abul Walid Ath Thurthusyi rahimahullah berkata, "Jika engkau berkata bahwa para pemimpin di zaman ini tidak sama dengan para pemimpin di zaman dahulu, maka rakyat di zaman ini pun tidak sama dengan rakyat di zaman dahulu. Jika engkau mencela pemimpinmu bila dibandingkan dengan pemimpin dahulu maka pemimpinmu pun berhak mencelamu bila dibandingkan dengan rakyat dahulu. Maka apabila pemimpinmu menzalimimu hendaklah engkau bersabar dan dia yang akan menanggung dosanya…

Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

إن اللّه لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم


"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS. Ar Ra’du : 11)


Alloh SWT berfirman, "Demikianlah kami menjadikan sebagian orang yang zalim itu pemimpin atas sesamanya sesuai dengan apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-An’am:129)

Ayat di atas merupakan sebuah indikasi, menurut Imam Al-Razy bahwa selama rakyat terus-menerus berbuat zhalim, Alloh akan menghukum mereka dengan terpilihnya pemimpin zhalim setipe mereka. Artinya bila mereka ingin terlepas dari pemimpin model begitu, mereka terlebih dahulu harus berhenti melakukan kezhaliman.(Tafsir Mafatihul ghaib QS. Al-An’am:129, Maktabah Syamilah)

Jika rakyat berusaha mengoreksi kesalahnya lalu merubahnya, niscaya Allah akan mengganti pemimpin mereka dengan yang lebih baik. Bila mereka mengidam-idamkan pemimpin yang adil dan amanah seperti sahabat Abu Bakar radhiyallahu'anhu dan Umar radhiyallahu'anhu, mereka pun harus menjadi rakyat yang setipe dengan rakyat pada masa itu. kepemimpinan yang ideal akan sulit muncul bila rakyat pada kenyataannya amat jauh dari masyarakat yang ideal. "Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum melainkan bila mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Dan apabila Alloh menghendaki keburukan suatu kaum, maka tak ada yang bisa menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS ar-Ra’d:11) Mari bersama-sama bermuhasabah diri.

Do'akanlah Kebaikan Untuk Pemimpin Kita

Imam al-Barbahari mengatakan:

وإذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى وإذا سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله


"Jika Anda melihat ada orang yang mendoakan keburukan untuk pemimpin, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu (aqidahnya menyimpang). Dan jika Anda melihat ada orang yang mendoakan kebaikan untuk pemimpin, ketahuilah bahwa dia Ahlus Sunah, insya Allah." (Syarh as-Sunnah, Hal. 51).


Selanjutnya, al-Barbahari membawakan riwayat perkataan seorang ulama besar, Fudhail bin Iyadh rahimahullah, yang memberikan nasihat:

لو كان لي دعوة مستجابة ما جعلتها الا في السلطان


"Andaikan saya memiliki satu doa yang pasti terkabulkan, tidak akan aku ucapkan kecuali untuk mendoakan kebaikan pemimpin."


Kemudian ada orang yang bertanya, mengapa harus demikian? Beliau menjawab:

إذا جعلتها في نفسي لم تعدني وإذا جعلتها في السلطان صلح فصلح بصلاحه العباد والبلاد فأمرنا أن ندعو لهم بالصلاح ولم نؤمر أن ندعو عليهم وإن جاروا وظلموا لأن جورهم وظلمهم على أنفسهم وصلاحهم لأنفسهم وللمسلمين


"Jika doa itu hanya untuk diriku, tidak akan kembali kepadaku. Namun jika aku panjatkan untuk kebaikan pemimpin, kemudian dia jadi baik, maka masyarakat dan negara akan menjadi baik. Kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka, dan kita tidak diperintahkan untuk mendoakan keburukan bagi mereka, meskipun mereka zalim. Karena kezaliman mereka akan ditanggung mereka sendiri, sementara kebaikan mereka akan kembali untuk mereka dan kaum muslimin." (Syarh as-Sunnah, Hal. 51).


Wallohu a’lamu bisshowab


Ditulis Oleh:

Ahmad Ibnu Abdillah(Belajar Islam)
14 Dzulqodah 1434 H