Cadar Pakaian Wanita Muslimah; Tanggapan Terhadap Tulisan Ustadz Mahmud Sayuti di Tribun Timur
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
![]() |
Cara Bercadar Muslimah Dengan Menampakkan Kedua Mata |
Membaca
tulisan Ustadz Mahmud Suyuti
pada http://makassar.tribunnews.com/2014/10/10/cadar-bukan-pakaian-muslimah tiba-tiba
tergerak rasanya niat hati untuk menanggapi artikel karya beliau.
Sebuah penjudulan yang cukup menyita perhatian dan menumbuhkan rasa
keingintahuan yang besar untuk membaca dan menyelesaikan deskprsi
penulis. Saya sangat apresiatif dan respek terhadap tulisan beliau namun
ada beberapa hal yang ingin saya kritisi dari pemaparan tersebut.
Meskipun saya telah mencoba mengirim artikel ini ke opini tribun timur
sebagai bahan bandingan namun tidak dimuat. Maka saya memilih untuk
memposting tulisan saya pada blog pribadi.
Menurut
hemat saya, sebenarnya pembahasan masalah cadar adalah hal yang memang
sudah lama diperselisihkan para ulama akan hukumnya bagi wanita muslimah
apakah mengenakannya wajib atau sunnah. Menelusuri akar kata cadar itu
sendiri adalah berasal dari bahasa Persia yang artinya penutup sedangkan
dalam padanan kata yang lain diantaranya purdah, niqob atau burqo yang
bermakna penutup wajah. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany mengartikan niqob
sebagai kerudung atau jilbab yang terdapat (menutupi) di atas hidung
atau di bawah lekuk mata. Sedangkan membuka wajah bagi wanita dalam
bahasa Arab disebut sebagai sufur. Pada pembahasan ini saya fokus pada
seputar hukum memakai niqob atau cadar bagi wanita muslimah.
![]() |
Cara Bercadar Sebagian Wanita Muslimah Dengan Menutup Seluruh Anggota Tubuh Termasuk Kedua Mata Agar Lebih Selamat Dari Fitnah |
Para ulama
mutaqoddimin (terdahulu) hingga mutaakhkhirin (belakangan) tidak pernah
bersepakat akan kesimpulan hukum cadar apakah ia wajib atau sunnah,
semuanya memiliki dalil yang kuat tentang pendapat masing-masing.
Semisal ulama yang mewajibkan cadar mereka memiliki alasan yang sangat
kuat dan demikian pula sebaliknya ulama yang menganggapnya sunnah
argumen meraka juga cukup kuat. Namun tidak ada dikalangan ulama
mutaqoddimin yang mencela memakai cadar, perselisihan dikalangan mereka
seputar hukum memakainya bagi wanita muslimah apakah sunnah atau wajib.
Melainkan beberapa kalangan ulama kontomporer yang nampaknya pendapat
mereka menyelisihi pendapat para ulama terdahulu dalam perkara ini.
Jika kita
melihat secara seksama dan membaca secara komprehensif pandangan para
ulama mazhab maka niscaya kita akan menemukan ijtihad mereka dalam
masalah cadar. Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka
berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang
wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis yang bukan mahram.
Mereka adalah pengikut Madzhab Hanbali, dan kebanyakan dari pengikut
Madzhab Syafi`i . Dan Dzohir Madzhab Imam Hanbali mengatakan bahwa
seluruh yang ada pada wanita adalah aurat bagi orang laki-laki lain
bahkan sampai kukunya. Untuk mendapatkan penjelasan secara detail
tentang dalil-dalil cadar dalam al-Qur’an dan al Hadits silakan merujuk
kepada kitab audatul hijab yang diterjemahkan dengan dalil-dalil tentang
hijab karangan Dr. Muhammad Ismail Al Muqaddam dari Mesir.
Sedangkan
mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan
termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil ataupun
hujjah untuk menguatkan pendapatnya termasuk mengutip pendapat dari para
imam mazhab yang empat. Mereka adalah para pengikut Madzhab Hanafi,
Maliki, sebagian pengikut Madzhab Syafi`i dan Al-Auza`i, mereka
berpendapat bahwa wanita boleh menampakkan wajah dan telapak tangannya .
Batasan wajah menurut mereka adalah panjangnya dimulai dari tempat
tumbuhnya rambut dikepala atas sampai dagu bawah, dan lebarnya adalah
antara kedua telinga. Karena Allah melarang untuk menampakkan perhiasan
mereka kecuali apa yang sudah tampak daripadanya. Argumen mereka dapat
dapat dilihat pada buku jilbab wanita muslimah karangan Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani.
Tidak ada
dikalangan ulama mazhab yang menganggap bahwa cadar adalah simbol budaya
orang Arab belaka bahkan ulama yang berpendapat akan sunnahnya cadar
membantah orang yang mengatakan cadar sebagai suatu fenomena budaya.
Realita masyarakat Arab dulu tidak mengenal jilbab/hijab sebelum
datangnya Islam bahkan orang musyrik Qurays berthawaf di sekeliling
ka’bah dalam keadaan telanjang. Begitu juga kisah ketika diturunkannya
ayat tentang perintah hijab maka diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu
anha bahwa pada saat itu wanita-wanita penduduk Madinah mengambil kain
tirai mereka untuk dijadikan hijab. Demikian pula ketika Aisyah
radhiyallahu anha menceritakan keadaan wanita Anshar ketika berjalan di
Madinah yang seolah-olah diatas kepala mereka bertengger burung gagak
disebabkan keteguhan pada hijab. Bahkan sebagai bahan perbandingan,
ulama yang mewajibkan cadar menganggap hadits tentang aurat wanita
adalah wajah dan telapak tangan adalah lemah (dhoif) karena hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan beliau sendiri melemahkan hadits
ini.
![]() |
Cara Bercadar Wanita Afgan Yang Biasa Sisebut Dengan Burqo |
Benar
bahwa diantara ulama terdahulu ada yang menafsirkan yang biasa nampak
adalah wajah dan telapak tangan sebagaimana tafsiran sahabat Abdullah
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu namun tidak dapat disalahkan pendapat yang
menafsirkan yang biasa nampak adalah pakaian luar (rida’) sebagaimana
tafsiran sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu.
Adapun dalam
larangan memakai cadar bagi wanita pada saat ihram para ulama mengambil
kesimpulan bahwa hukum asal cadar adalah pakaian sehari-hari wanita
muslimah kecuali pada waktu terlarang seperti ihram dan waktu-waktu
lainnya. Bahkan dalam riwayat Aisyah diceritakan bahwa ketika ada lelaki
asing (bukan mahram) yang lewat disaat mereka berihram maka mereka
menutup wajahnya dengan kain.
Adapun
jawaban tentang hadits yang mengatakan seorang perempuan nampak wajahnya
yang kemerah-merahan dalam buku dalil-dalil tentang hijab disebutkan
wajahnya yang hitam maka ulama mengatakan ini ada dua kemungkinan,
pertama apakah karena dia wanita uzur yang gugur kewajiban hijab atasnya
atau karena pada saat itu ayat hijab belum turun karena ayat hijab
nanti turun pada tahun ke lima hijriah sedangkan kondisi pada saat itu
adalah sholat ied dimana syariat ied diturunkan pada tahun kedua
hijriah.
Sedangkan
hadits tentang tersenyum kepada sesama saudara muslim tidak berlaku
untuk semua sampai kepada lawan jenis yang bukan mahram karena ini
bertentangan dengan perintah menundukkan pandangan kepada lawan jenis.
Untuk
konteks ke-Indonesia-an sebenarnya tidak ada yang kontradiktif. Jika
kita menilik sejarah maka niscaya kita akan dapati pengakuan orang-orang
tua kita dari suku Bugis Makassar dimana pakaian mereka dahulu kala
terdiri dari dua sarung, bagian bawah dan bagian atas yang dililit
sampai menutup wajah dan hanya kedua mata yang nampak. Demikian juga
pada masyarakat suku Bima yang tradisi wanita zaman dahulu mereka adalah
menutup wajah. Dan ini adalah pakaian wanita muslimah di zaman
kesultanan Islam Gowa-Tallo/Makassar.
![]() |
Cara Memakai Cadar (Rimpu) Wanita Muslimah Bima, Indonesia |
Jika
demikian adat serta fanatisme yang dilakukan oleh manusia hukum asalnya
adalah boleh-boleh saja. Apabila adat tersebut diperbolehkan menurut
syariat maka kita terima dan kita amalkan tapi dengan tolak ukur
al-Qur'an dan al-Hadits. Apabila tidak ada dalam syariat maka kita
menghindarinya. Adat istiadat, serta norma dalam masyarakat terdapat
pembahasannya dalam syariat, falsafah orang Bugis dan Minang serta
suku-suku muslim lainnya di Indonesia mengatakan “adat bersendi syara’,
syara’ bersendi kitabullah”.
Ketika
masyarakat terdidik dan mengadopsi untuk menutup wajah, maka itu adalah
adat yang baik yang terdapat dalam syariat. Ada sebagian orang yang
melakukannya atas landasan adat dan norma sebagaimana di negara yang
mewajibkan wanitanya bercadar, sedangkan ada juga diantara manusia yang
mengerjakannya karena landasan kecintaan terhadap agama dan syariat
islam.
Dalam buku
Kumpulan Masalah-Masalah Diniyah dalam Muktamar NU sebagaimana di cuplik
oleh Ustadz Muhammad Abduh. Para ulama NU terdahulu termasuk pendiri NU
KH. Hadratussyaikh Hasyim Asya’ari rahimahullah ditanya beberapa
pertanyaan seputar cadar, berikut nukilannya;
Bagaimana
hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua
tangannya? Apakah HARAM atau makruh? Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada
pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi darurat
ataukah tidak? (Surabaya).
Jaw.:
Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut pendapat yang
mu’tamad, menurut pendapat lain boleh wanita keluar untuk jual beli
dengan terbuka muka dan kedua telapak tangannya, dan menurut Mazhab
Hanafi, demikian itu boleh bahkan dengan terbuka kakinya (sampai mata
kaki-ed) apabila tidak ada fitnah. Keterangan dari kitab Maraqhil-Falah
Syarh Nurul-Idhah dan Kitab Bajuri Hasyiah Fatkhul Qarib J. II Bab
Nikah.
S: Apakah
boleh kita mengambil dalil dengan Qoidah: dharurat itu memperbolehkan
mengerjakan larangan atau Qoidah: apabila urusan itu sempit maka menjadi
longgar untuk memperbolehkan keluarnya perempuan dengan membuka
auratnya di samping lelaki lain karena telah menjadi biasa di Indonesia
ataukah tidak? (Pagaralam)
Jaw.: Tidak
boleh menggunakan dalil tersebut karena menutup aurat waktu keluar
(rumah-ed) itu tidak membahayakan diri karena dlarurat yang
memperbolehkan menjalankan larangan itu apabila tidak mengerjakan
larangan dapat membahayakan diri atau mendekati bahaya. Keterangan dari
Kitab Asybah wan Nazair.
Dengan
demikian dapat diambil kesimpulan bahwa cadar adalah pakaian wanita
muslimah yang ada dalil dan petunjuknya dalam Islam, apakah wajib atau
sunnah yang dianjurkan, bahkan tidak ada yang menganggapnya sebagai
fenomena budaya. Maka selayaknya kita mendukung wanita muslimah yang
ingin mengamalkan ajaran Islam yaitu menjaga kehormatannya dengan
memakai cadar.
Kaisar Abdullah
Riyadh, 16 12 1435 / 10 10 2014
Post a Comment